Keberhasilan film Australia memperlihatkan kekuatan local wisdom atau kearifan lokal dalam menghadapi beragam masalah di dunia modern, membuat saya teringat dengan beberapa film lain dengan konteks yang sama. Konteks budaya lokal saat harus berhadapan dengan budaya modern (baca budaya Barat/ western). Salah satunya yang paling fenomenal adalah film ”The God Must Be Crazy”.

Jika film Australia sedikit banyak mengangkat budaya masyarakat Aborigin, masyarakat asli benua Kangguru, maka The Gods Must Be Crazy justru kental dengan budaya Afrika. Namun, kedua film dengan caranya masing-masing memperlihatkan bagaimana budaya local seringkali harus menghadapi perbenturan saat berhadapan dengan budaya modern.
Untuk lo yang sudah lupa (atau lupa-lupa ingat) dengan film The Gods Must Be Crazy, gue akan memberikan sedikit ulasannya.
Film The Gods Must Be Crazy merupakan karya Jamie Uys, seorang kulit putih Afrika Selatan, yang dibuat saat negaranya masih menerapkan politik Apartheid atau pembedaan warna kulit. Di film ini ia berperan sebagai Sutradara, Produser hingga penulis naskah (bahkan juga muncul sebagai salah satu karakter tambahan dalam film). Film yang mengambil lokasi di Botswana dan Afrika Selatan ini, bercerita mengenai pengalaman Xi (dibaca dengan dialek setempat sebagai ’Gi’, yang diperankan oleh seorang petani Namibia bernama N!xau), seorang anggota suku gurun yang hidup di Gurun Kalahari.
Film The Gods Must Be Crazy pertama kali diedarkan di Afrika Selatan pada tahun 1980. Jensen Farley Picture adalah distributor yang membawa film bergenre komedi slapstik ini masuk secara terbatas di wilayah Amerika Serikat di tahun 1982. Baru dua tahun kemudian, setelah The Gods Must Be Crazy terbukti menarik minat penonton Amerika Serikat, 20th Century Fox, distributor yang memiliki jaringan luas di dunia, mengedarkannya tidak hanya di Amerika Serikat tapi juga dunia. Hanya dalam waktu singkat, film Gods Must Be Crazy menjadi box office. The Gods Must Be Crazy tercatat sebagai film asing dengan hasil terbesar yang pernah diedarkan di AS.
Kisah Xi dan Botol Coca Cola
Suku gurun Kalahari
Xi adalah seorang gurun yang hidup dari hasil tanahnya di Gurun Kalahari. Mereka hidup bahagia karena ’Tuhan’ telah menyediakan berbagai kebutuhan hidup yang cukup berlimpah sehingga bagi mereka, tidak ada lagi keinginan yang harus dicapai.
Botol Coca Cola: benda kiriman Tuhan?
Suatu hari kehidupan sederhana yang mereka jalani terganggu dengan kehadiran sebuah botol minuman Coca Cola. Seorang pilot pesawat yang melintas di daerah itu menjatuhkan botol Coca Cola di wilayah suku gurun Xi. Dengan kesederhanaan pemikirannya, mereka menemukan banyak kegunaan dari sebuah botol Coca Cola, benda yang dianggap dikirim oleh Tuhan. Namun masalah muncul karena hanya ada satu botol, padahal hampir semua anggota suku menginginkannya. Tidak berapa lama, mereka harus menghadapi kondisi yang tidak pernah mereka alami sebelumnya: permusuhan, kebencian, bahkan kekerasan.
Dengan segera pandangan mereka terhadap botol Coca Cola berubah, dari sebuah benda kiriman Tuhan menjadi ’sesuatu yang jahat’ dan harus dibuang di ujung dunia. Xi dengan sukarela mengajukan diri untuk mengerjakan tugas itu. Akibatnya, Xi harus melakukan perjalanan jauh, yang ternyata bukan hanya menjadi perjalanan fisik tapi juga perjalanan budaya dan mental. Mulailah ia berkenalan dengan peradaban Barat. Film ini secara menarik memperlihatkan interpretasi menyangkut peradaban (barat) yang disajikan melalui kaca mata Xi.
Perjalanan itu juga membuat Xi berhubungan dan berbagi pengalaman dengan manusia-manusia lain seperti Andrew Steyn seorang peneliti binatang dan Kate Thomson, seorang guru sekolah desa. Ia juga bertemu dengan pemimpin teroris bernama Sam Boga.
"Ujung dunia" menurut Xi
Xi akhirnya tiba di puncak bukit. Ia melihat awan yang menggantung di bawahnya tanpa ada yang menyangga. Tidak heran Xi mengambil kesimpulan inilah ujung dunia tempat ia harus melempar botol. Misi Xi akhirnya terlaksana.
Tokoh dalam film:
1.Ni Xiao sebagai Xi
2.Marius Wayers sebagai Andrew stein
3.Sandra Prinsloo sebagai Kate Thomson
4.Louw Verwey sebagai Sam Boga
5.Michael Thys sebagai Mpudi
Nah itu tadi sedikit ulasan cerita tentang film THE GODS MUST BE CRAZY, bagi gue film ini konyol asli konyol banget pertama nonton emang ngebosenin sih tapi ternyata banyak tingkah konyol dari para pemain yang bikin gue ngakak, menurut gue film ini bagus (terpaksa) wkwk engga asli bagus kok bagus, bagi gue ada sisi positif dan negatif dari film ini, sisi negatif nya dulu deh ya... negatifnya tuh di film ini kebanyakan menampilkan para pemain yang pakaiannya tidak di sensor kalo anak-anak yang liat kan agak bahaya juga ya soalnya bisa ngerusak cara berpikir meraka dan ga baik lah intinya cuman dibalik itu ada sisi positifnya juga positif nya adalah kita bisa belajar dari suku bostwan mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat mereka dan mereka masih menerapkan kebudayaan dari nenek moyang mereka sampai di masa modern seperti sekarang ini bagi gue sih secara gue anak yang hidup di jaman serba modern (asik) haha jadi ya gue ngerasa apa yang dilakukan suka bostwan ini "agak freak" sih ya tapi ternyata mereka punya tujuan dari apa yang mereka lakukan dengan masih tetap menjaga kebudayaan mereka sampe sekarang, kalau dibandingkan dengan kita kita yang hidup di jaman serba ada kaya gini pernah gak kita inget dan menerapkan budaya kita? malah kita asik sendiri dengan kehidupan kita masing-maing dan cuek bodoamat sama orang-orang disekitar kita, apalagi semenjak adanya handphone dan gadget-gadget canggih lainnya kita jadi sibuk dengan gadget kita dan gapernah ngeliat lingkungan luar dengan segala keadaan dan problematikanya (anjas bahasa gue) hahahaha jadi pesan buat lo lo semua, film ini patut buat ditonton lo nonton deh nanti lo bisa tarik kesimpulannya sendiri biar lo bisa belajar dari suku bostwan yang freak tapi tetep ngasih banyak pelajaran. Oke gengs sekian dari postingan gue semoga bermanfaat sekian dan terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar